Nirvṛtiḥ pārtha vijnéyaḥ, Trajāstanaṃ Bhīma dhīritaḥ, Naśyanti gaṭaté pakṣaḥ, Vuddhi pralambaté kaścit.
Larilah Sang Arjuna, melaporkan kepada kakaknya Sang Bhīmaséna. Marahlah Sang Bhīma, dia segera berangkat. Adalah pohon Bodi yang sangat tinggi dan sepeluk besarnya, lalu dicabut oleh Sang Bhīma, lalu diputar- putarkannya. Dipukullah Raja Candrabherawa disabit, diterkam, hancurlah Pohon Bodi itu. Lalu Raja Candrabherawa ditangkap, dipukul, dipatahkan dengan lutut, ditendang, dibalikkan, dibantai, tiada terluka Raja Candrabherawa. Lalu diangkat Raja Candrabherawa oleh Sang Bhīmaséna, dibuanglah ke dalam sumur yang sangat dalam, namun tetap mengambang tiada tenggelam Raja Candrabherawa. Marahlah Sang Bhīmaséna, lalu mencabut pohon lontar yang tinggi, disodok, ditusuk, diterjang, dicingcang Raja Candrabherawa yang berada dalam sumur. Tetapi tiada tenggelam dia, lalu hancur lebur pohon lontar itu oleh dia. Marahlah Sang Bhīmaséna, lalu memecahkan batu sepuluh meter panjangnya, ditikamlah Raja Candrabherawa yang berada di dalam sumur, hancur lebur batu itu menjadi seribu.
Kata Raja Candrabherawa: “Apa lagi maumu hai kamu Bhīma, lagi aku mengatakan padamu, tiada tahulah kamu dengan hakekat hidupku”.
Prāṇasutéśca ūcyaté.
Kata Sang Bhīma: “Kalah aku olehmu, ku menyerah padamu. Raja Kṛṣṇa lah yang membuatku marah padamu, aku akan melaporkan kepadanya sekarang’.
Lalu melompatlah Sang Bhīma. Tidak diceritakan perjalanannya, telah dilaporkan segala perilaku Raja Candrabherawa oleh Sang Bhīma, kepada Raja Kṛṣṇa.
Berangkatlah Maharaja Kṛṣṇa, untuk berdebat dengan Raja Candrabherawa, katanya:
Tvaṃ-tvaṃ Bhérava tatsokyaṃ.
“Baiklah wahai Raja Candrabherawa, bingung pikiranku, apakah sebenarnya itu ilmumu, sehingga kamu tidak mau membangun Sanggar Kabuyutan, tidak mau memuja Sad Kahyangan, hanya makan saja tiada mau membuat sesajen. Katakanlah kepadaku”.
Śrī dévāntara vijnéyaḥ.
Kata Raja Candrabherawa: “Ya Raja Kṛṣṇa, ilmu Bajradhara yang kami pelajari, memuja Sang Hyang Adi Buddha, yang berada di sela-sela keningku, persamaannya dengan puncak śucikabajra, sebab tidak ada Dewa lain lagi, tiada beda dari diri sendiri, siapa yang dibuatkan sesajen, siapa yang disembah, itu intisari dari ajaran Bajradhara namanya”.
Padmā nābhaśca viskambho.
Tanya Raja Kṛṣṇa: “Dimanakah engkau menyatukan ilmumu itu?
Katakanlah kepadaku”.
Numaṃ bhairavaśca talaṃ.
Jawab Raja Candrabherawa: “Ketahuilah wahai Raja Kṛṣṇa. Di dalam Raṣa Nirbhana dipuja terlebih dahulu, dan di Śila Gamana sebagai puncaknya. Adapun di dalam diri, tidak ada yang lebih mulia daripada Ātma. Jika tidak dibuatkan sanggar, di sanggar distanakan Ātma itu, itu Ātma salah satu jalan namanya kalau demikian. Pastilah akan menemukan kesengsaraan hingga akhirnya mati”. Demikianlah kata Raja Candrabherawa.
Pāryyayaṃ janargghanaśca, Bhūnanti śāstraṃ arjjavaṃ, Śrī mahā maṅgala jnéyaḥ, Viṣṇu mūrtinca darśanaṃ.
Kata Raja Kṛṣṇa: “Ada yang lain lagi, apakah engkau tahu dengan macam- macam ilmu ini bernama Śrī Mahāmanggala? Sekarang aku bertaruh denganmu”.
Lalu beliau memusatkan batinnya, dalam sekejap menjadi Wiṣṇu Mūkti, sangat menakutkan wajah beliau. Katanya: “Tebaklah ajianku ini olehmu”.
Candrabhéravi ūcyaté.
Kata Raja Candrabherawa: “Tahu aku wahai Kṛṣṇa tentang ajianmu. Adṛṣya namanya berasal dari angin. Anjalatundha namanya beralaskan mega. Amadapā namanya beralaskan tunas. Anggaganācara namanya beralaskan angin. Selain itu Animā ( maha kecil ), ( maha besar ), Prapti ( sampai pada tujuan ), Prākāmya (segala kehendak tercapai) Waśistwa ( maha kuasa ), Māśiyitwa (memerintah) Yatrakāmawaśayitwa ( kekuatan super natural untuk berjalan kemanapun yang disukai ), itu Aṣṭa Iśwarya ( delapan kemahakuasaan ) namanya. Lain dari pada itu, ajian Sarwa krūra namanya itu. Aku tahu hakekatnya semua, segala wujud rupamu. Silahkan selesaikan semadimu”.
Demikian kata Raja Candrabherawa. Lemah lembut wujud Raja Kṛṣṇa kembali. Katanya: