Veda (Weda) Sebagai Sumber Ajaran Agama Hindu


Weda Sebagai Sumber Hukum Hindu

Hukum Hindu merupakan pedoman bagi para umat Hindu. Dharmasastra merupakanhukum hindu bagi umat manusia sedangkan Manawa Darmasastra adalah sebuah kitab Dharmasastra yang dihimpun dengan bentuk yang sistematis oleh Bhagawan Bhrigu. Semua hukum hindu bersumber dari weda Sruti dan Weda Smerti.
Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan ilmu hukum, peninjauan sumber hukum hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam kemungkinan yaitu sumber bidang hukum hindu menurut sejarah, sumber hukum hindu dalam arti sosiologi, sumber hukum hindu dalam arti formal dan sumber hukum dalam arti filsafat.

Ketentuan mengenai Weda sebagai sumber hukum dinyatakan dengan tegas didalam berbagai kitab suci, antara lain:

Weda’khilo dharma mulam smrti sile ca tad widäm, acãrasca iwa sadhunama atmanastustirewaca.

Manawadharmacastra II. 6.
Artinya
Seluruh Weda merupakan sumber utama dan pada dharma 1) (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti disamping Sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dan orang-orang yang menghayati Weda) dan kemudian acara tradisi-tradisi dan orang-orang suci) serta akhirnya atmanastusti (rasa puas diri sendiri)

Dari pasal ini, kita mengenal sumber-sumber buku sesuai urut-urutannya adalah seperti istilah berikut: 1. Weda, 2. Smrti, 3. Sila, 4. Acara (Sadacara) dan 5. Atmanastusti.
Untuk lebih menegaskan tentang kedudukannya sumber-sumber hukum itu.

Ketentuan-ketentuan yang menggariskan Weda sebagai sumber hukum, bersifat mutlak karena didalam Manawadharmaastra dinyatakan sehagai berikut :

Kămătmată na prasastă na cai wehăstya kamata, kãmyohi wedădhigamah karmayogasca waidikah.

Manawadharmacastra a). M. Ds. II. 2
Artinya
Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dan mempelajari Weda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Weda.

Tesu samyang warttamăno gacchatya maralokatam, yathă samkalpitămcceha sarwăn kámăn samasnute.

Manawadharmacastra b). M. Ds. II. 2
Artinya
Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dan mempelajari Weda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Weda.

Masih beberapa pasal yang menekankan pentingnya Weda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat didalam membina masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan itu penghayatan Weda bersifat penting karena bermanfaat bukan saja kepada orang itu tetapi juga kepada yang akan dibinanya. Karena itu Weda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan dan sebagai ilmu.

Dengan mengutip beberapa pasal yang relatif penting artinya dalam menghayati Weda itu, kiranya akan jelas mengapa Weda, baik Sruti maupun Smrti sangat penting sekali artinya. Kebajikan dan kebahagiaan adalah karena Dharma berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah yang menjadi kakekat dan tujuan dari pada weda itu.

Pengertian Veda sebagai sumber ilmu menyangkut bidang yang sangat luas sehinga Sruti dan Smrti diartikan sebagai Veda dalam tradisi Hindu. Sedangakan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah membatasi arti Veda pada kitab Sruti dan Smrti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti menurut tradisi Hindu adalah : Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab Mantra terdiri dari : Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharwa Veda.

Manawa Dharmasastra

Kata Dharmasastra berasal dari bahasa sansekerta. Dharmasastra berarti ilmu hukum. Dharmasastra sebagai kitab Hukum Hindu selanjutnya didapatkan keterangan yang sangat mendukung keberadaanya sebagai berikut :

Šruti wedaá samākhyato dharmaṡāstram tu wai smṛtiá, te sarwātheswam imāmsye tābhyāṁ dharmo winirbhþtaá.Nyang ujaraken sekarareng, Šruti ngaranya Sang Hyang Catur Veda, Sang Hyang Dharmaṡāstra Smṛti ngaranira, Sang Hyang Šruti lawan Sang Hyang Smṛti sira juga prāmanākena, tūtakena warah-warah nira, ring asing prayojana, yawat mangkana paripurna alep Sang Hyang Dharmaprawṛtti.
Artinya :
Ketahuilah oleh mu Šruti itu adalah Veda dan Šmṛti itu sesungguhnya adalah Dharmaṡāstra; keduanya harus diyakini dan dituruti agar sempurna dalam melaksanakan dharma itu.
(Sarasamuscaya, 37)

Yang dimaksud dengan Sruti itu sama dengan Weda dan Dharmasastra itu sama dengan Smerti. Keduanya supaya dijalankan, supaya dituruti untuk setiap usaha, maka sempurnalah dalam berbuat dharma. Yang menarik perhatian dan perlu dicamkan ialah bahwa kitab Manawa Dharmasastra maupun kitab Sarasamuscaya menganggap bahwa Sruti dan Smerti itu adalah dua sumber pokok dari Dharma. Berikut ini adalah petikan sloka yang dimaksud :

Itihasa puranabhyam wedam samupawrmhayet, bibhetyalpasrutadwedo mamayam pracarisyati.
Artinya:
Hendaklah Veda itu dihayati dengan sempurna melalui mempelajari Itihasa dan Purana karena pengetahuan yang sedikit itu menakutkan (dinyatakan) janganlah mendekati saya.
(Sarasamuscaya, 39)

Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga Negara (tata Negara). Hubungan dari Dharmasastra dan Manawa Dharmasastra dapat sinyatakan dari petikan sloka berikut ini :

Šruti dvaidhaṁ tu yatra syāt tatra dharmāvubhau smrtau, ubhāvapi hi tau dharmau samyag uktau maniṣibhiá.
Artinya :
Jika dalam dua kitab suci ada perbedaan, keduanya dianggap sebagai hukum, karena keduanya memiliki otoritas kebajikan yang sepadan.
(Manawa Dharmasastra II.14)

Manawa Darmasastra adalah sebuah kitab Dharmasastra yang dihimpun dengan bentuk yang sistematis oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran Manu, dan beliau pula salah seorang Sapta Rsi. Kitab ini dianggap palinga penting bagi masyarakat hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga.

Wedangga adalah kitab yang merupakan batang tubuh Weda yang tidak dapat dipisahkan dengan Weda Sruti dan Weda Smerti. Penafsiran terhadap pasal – pasal Manawa Dharmasastra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti di tahun 825 M.

Kemudian beberapa Maha Rsi memasyarakatkan tafsir–tafsir Manawa Dharmasastra menurut versinya masing–masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum Hindu, misalnya : Yajnawalkya, Mitaksara dan Dayabhaga.

Para Maha Rsi yang melakukan penafsiran–penafsiran pada Manawa Dharmasastra menyesuaikan dengan tradisi dan kondisi setempat.

Aliran yang berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan Dayabhaga. Di zaman Majapahit, Manawa Dharmasastra lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian kaida –kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke – 21 dipelopori oleh tokoh–tokoh suci Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara dan Apararka. Dua tokoh pemikir Hindu, yaitu : Sankhalikhita dan Wikana berpandangan bahwa Manawa Dharmasastra adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan sekarang adalah zaman Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan Dharmasastra yang dipandang sesuai dengan zaman masing – masing yaitu seperti di bawa ini :

  1. Manu; Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Krtayuga
  2. Gautama; Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Tretayuga
  3. Samkhalikhita; Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Dwaparayuga
  4. Parasara; Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Kaliyuga

Sejarah Perkembangan Hukum Hindu

Peninjauan Hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data-data mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada. Penekanan disini harus pada dokumen tertulis karena pengertian sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (Pra Sejarah), tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang didalam Hukum Hindu disebut Acara.

Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari pra-sejarah ditulis dalam zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah hukum dari satu phase ke phase yang baru. Dari pengertian sumber hukum tertulis, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilihat berdasarkan penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum dan otensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah, dokumen tertua yang memuat pokok-pokok Hukum Hindu, untuk pertama kalinya kita jumpai di dalam Veda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Veda Sruti tertua adalah kitab Reg Veda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM.

Kita harus bisa membedakan antara phase turunnya wahyu (Sruti) dengan phase penulisannya. Saat penulisannya itu merupakan phase baru dalam sejarah Hukum Hindu dan diperkirakan telah dimulai pada abad ke X SM. Berdasarkan penemuan huruf yang mulai dikenal dan banyak dipakai pada zaman itu. Sejak tahun 2000 SM – 1000 SM. Ajaran hukum yang ada masih bersifat tradisional dimana isi seluruh kitab suci Veda itu disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Sementara itu jumlah kaidah-kaidah itu berkembang dan bertambah banyak.

Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan berkembang pada jaman Smrti. Dalam zaman ini terdapat Yajur Veda, Atharwa Veda dan Sama Veda. Kemudian dikembangkan pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Semua kitab-kitab yang dimaksud adalah merupakan dokumen tertulis yang memuat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada zaman itu. Phase berikutnya dalam sejarah pertumbuhan sumber Hukum Hindu adalah adanya kitab Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan kitab Sruti.
Kitab ini dikenal dengan nama kitab smrti, yang memiliki jenis-jenis buku dalam jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Di dalam buku-buku ini pula kita dapat mengetahui keterangan tentang berbagai macam cabang ilmu dalam bentuk kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan sebagai landasan pola pikir dan berbuat dalam kehidupan ini. Kitab smrti ini dikelompokkan menjadi enam jenis yang dikenal dengan istilah Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad Vedangga tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum). Kitab dharma sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain:

  1. Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.
  2. Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih terinci.

Di antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk sutra dipandang lebih tua waktu penulisannya yakni disekitar kurang lebih tahun 1000 SM. Sedangkan bentuk sastra kemungkinannya ditulis disekitar abad ke VI SM. Kitab smrti merupakan sumber hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah-kaidah hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu.

Disamping kitab-kitab tersebut diatas yang dipergunakan sebagai sumber hukum Hindu, juga diberlakukan adat-istiadat. Hal ini merupakan langkah maju dalam perkembangan Hukum Hindu. Menurut catatan sejarah perkembangan Hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:

  1. Pada zaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.
  2. Pada zaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Gautama.
  3. Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra yang ditulis oleh Samkhalikhita.
  4. Pada zaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Parasara.

Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah Hukum Hindu. Hal ini patut kita camkan mengingat Agama Hindu bersifat universal, yang berarti kitab Manawa Dharmasatra yang berlaku pada zaman Kali Yuga juga dapat berlaku pada zaman Trata Yuga. Demikian juga sebaliknya. Selanjutya sejarah pertumbuhan hukum Hindu yaitu :

  1. Aliran yajnawalkya oleh yajnawalkya
  2. Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
  3. Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana.

Dari ketiga aliran tersebut akhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang dengan pesat khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang yang terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara.

Pelembagaan aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai sumber Hukum Hindu pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena adanya ulasan-ulasan yang diketengahkan oleh penulis-penulis Dharmasastra sesudah Maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120 SM), setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum Hindu dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan zaman saat itu dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai ke Indonesia.

Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada zaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa penyebaran Agama Hindu keseluruh pelosok negeri.

Bersamaan dengan penyebaran Hindu, diturunkanlah undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam bentuk terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno. Adapun aliran yang mempengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling dominan adalah Mithaksara dan Dayabhaga.

Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawa dharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti yang berkembang di Indonesia, yang khususnya dapat dilihat pada hukum adat di Bali.

Istilah-istilah wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada desa praja. Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan prasasti-prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah negara atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu.

Muncul dan tumbuhnya aliran–aliran hukum hindu itu merupakan fenomena sejarah hukum hindu yang semakin luas dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula bermunculan kritikus–kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta bertanggung jawab atas lahirnya aliran–aliran hukum tersebut.

Sebagai akibatnya maka timbullah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan realitas kaidah–kaidah hukum Hindu di antara berbagai daerah. Dua dari aliran hukum yang muncul itu akhirnya sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum Hindu di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan peradaptasiannya.

Di Indonesia kita warisi berbagai macam lontar dengan berbagai nama, seperti Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, Kutara Manawa, Agama, Adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima, dan berbagai macam sasana di antaranya Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. Semua itu adalah merupakan gubahan yang sebagian bersifat penyalinan dan sebagian lagi bersifat pengembangan.

Perlu dan penting kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara–paswara yang digunakan sebagai yurispendensi hukum Hindu yang dilambangkan oleh raja–raja hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita secara garis besarnya mengenai sumber–sumber hukum Hindu berdasarkan sejarahnya.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga