Vṛsadavaḥkopatyaśca, Bhéravyaṃ sapatna naraḥ, Nivédyaṃ dévatārcanaṃ, Gṛhyaté déva codikaḥ.
Sang Bhīma berkata: “ Baiklah Śri Bhérawa, Anda meremehkan orang yang membuat Parhyangan, mempersembahkan Banten, dan memuja Dewa. Padahal ajaran itu diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dan itu dibenarkan oleh para dewa sebagai sarana untuk meruwat malanya manusia. Orang yang tidak beragama, tidak dapat dianggap manusia. Ia tidak bedanya dengan binatang dan segala jenis burung. Anda dan semua masyarakat yang ada di Déwantara, apa sesungguhnya agamamu. ( begitulah aku ) agar laporanku benar kepada Śri Kṛṣṇa dan Yudiṣṭira”.
Śakti bhṛt dévāntaraśca.
Śri Bhérawa berkata : “Baiklah Bhima, aku tidak ada maksud menghina dewa semua, juga kepada hakekat tiga agama sebagai yang anda katakan. Menurut katamu, itu orang bila tidak mengikuti tiga agama, sama dengan binatang dan burung, ah sesungguhnya terbalik tuduhanmu. Justru anda yang membuat arca
perwujudan berupa ular, burung di tempat suci, lalu itu dipuja oleh orang banyak. Ah, anda jejak orang bodoh dan bingung seperti itu. Bagaikan mempercayai orang kedewan-dewan “ gila, serba didewakan”. ( orang semacam itu ) sesungguhnya tidak tahu hakekat ajaran yang sesungguhnya.
Bhajanaṃ dharyaté yamaḥ, Vidhaḥ śastra vivārjitaḥ, Bajradhāré nigaddhyaṣu, Naca vidhi karmé guhyaṃ.
“Dan kini hai Bhīma, ( aku beritahu kamu ) agar kamu tahu tentang asal- usul agamaku. Aku mempelajari ajaran yang bernama Bhajrahdāra. Sang Hyang Adibuddha yang kami puja, ( mempergunakan ) sedikit sarana upacara kurban. Sebab ( sesungguhnya ) Sang Hyang Widhi ada pada diri. Dalam diri ini sudah tersedia banyak sarana persembahan yang bersifat rahasia, sebagai panala dari mengetahui sumber menjelma dan jalan kelepasan. Demikian juga mengetahui sebabnya mengapa kembali mengalami tumimbal lahir. Sebab dari dirilah awalnya neraka, begitupun sebaliknya dari dirilah awalnya surga. Dan aku tidak mengharapkan surga neraka itu. Hanya orang yang penuh dosa berharap mendapatkan surga. Swarga ciuta, naraka ciuta, itu kedunya bilamana ia datang (akan aku) rangkul sampai takluk. Itu sesungguhnya sama denga suka duka, ada dalam diri. Akan tetapi, bila ada orang yang luput dari suka duka selama ia hidup, itulah orang yang disebut berbahagia di dunia. Kemanapun orang yang demikian itu pergi tidak akan disakiti oleh keluarga dan sahabatnya. Demikianlah agamaku. Laporkanlah itu kepada tuan Anda, Sang Kṛṣṇa dan Yudhiṣṭira”. Demikian jawaban Śri Candrabherawa.
Hahaṃ néyaśca caranti, Mahātraya dévāntaraṃ, dvanyaṃ Bhīma gancaté, Śévyamanaḥ Yudhīṣṭiraḥ.
Mohon dirilah Sang Bhīma dari Negara déwāntara. Tidak diceritakan jauhnya perjalanan, telah tiba ia di Negeri Hastina. Lalu melapor kepada Raja Kṛṣṇa dan Raja Yudhiṣṭira, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Raja Candrabherawa.
Kata Raja Kṛṣṇa: “ Ya kakanda Raja Yudhiṣṭira, hamba adikmu tiada mengerti, tentang ajaran yang dianut oleh Raja Candrabherawa, terutama mengenai ajaran tingginya kesunyataan, sebab banyak dan berbeda-beda ajaran yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi, namun yang dinamai ciptaan, ada juga cacat celanya salah satu”.
Dijawab oleh Raja Yudhiṣṭira: “Ya adikku maharaja Kṛṣṇa, sebagaimana berita tentang Raja Candrabherawa, sangat memahami tentang ajaran kesunyataan, dan juga tentang Yoga Sanyaṣa yang dipahaminya, Susuk simabrata bagi pendeta, yang sangat mulia itu, tetapi kalau diajarkan di masyarakat umum, tidak ada keutamaannya kalau dilaksanakan di dunia, apalagi kalau diajarkan kepada orang-orang bodoh dan berkelakuan buruk. Adapun lagi, jika dunia kurang upacaranya, akibatnya bumi ini tidak akan memiliki kesucian, kotor namanya, kalau belum diadakan upacara, boṇdhan ( hina ) namanya dunia ini, kalau demikian”.
Kata Raja Kṛṣṇa: “Ya ampun Raja Yudhiṣṭira, hamba akan menyuruh, dan akan mengirim utusan terlebih dahulu, wahai kamu patih Kiratha, engkau ku perintahkan agar datang ke Negeri Déwāntara, hendaknya engkau menyampaikan kepada Raja Candrabherawa untuk membangun Sanggar Kabuyutan dan Sad Kahyangan, kalau ia menolak seperti perintahku, sampaikanlah kepadanya bahwa kami akan menyerbu Negaranya. Berangkatlah engkau secepatnya”. Segera berangkat setelah memberi hormat Patih Kiratha, pada duli baginda Raja berdua.
Tathéva dūta gaścaté, Sati dévāntara vaca, Aśrantamtamé rājyastu, Évaṃ rajéstuté pākṣaḥ.
Tidak diceritakan perjalanan Sang Utusan, tibalah di Negara Déwāntara, telah mendapatkan kesempatan, lalu masuk ke dalam istana, menghadap pada Raja Candrabherawa. Kata Sang Utusan,
Mumam puṣpitaśca vruḍaḥ.
“ Ya ampun tuanku Raja Candrabherawa, hamba diutus oleh Raja Kṛṣṇa, untuk menyampaikan kepada duli tuanku raja, ada apa pun tuanku Raja diperintahkan oleh Raja Kṛṣṇa supaya sama-sama melaksanakan ajaran Karma
Sanyaṣa, apalagi tuanku sudah mengetahui betul tentang makna ajaran Yoga Sanyaṣa. Kalau ajaran Yoga Sanyaṣa yang tuanku Raja pegang teguh, meyakini tidak ada tanah yang disucikan, bercampur aduk namanya, sebab tidak pernah dibuatkan upacara, diberi doa mantra dan semadi, gersanglah jadinya tanah ini, hasil bumi kurang baik, segala umbi-umbian, buah-buahan, tidak ada rasanya menurut ajaran suci.
Perilaku manusia tidak memperdulikan Śrī Basundarī, dalam memohon kesuburan tanah. Bhaṭārī tidak suka melihat manusia yang tidak beragama, sebab Beliau dewanya tanaman. Demikianlah yang dimaksud oleh Raja Yudhiṣṭira, sehingga beliau mengutus hamba untuk menghadap kemari. Hamba bernama Patih Kiratha. Ada pun pesan Raja Kṛṣṇa , adalah untuk memohon kepada tuanku Raja agar membangun Sanggar Kabuyutan dan Sad Kahyangan, namun jika tidak mau tuanku menuruti, maka beliau akan segera mengadakan perang, negara tuanku Raja akan diserang oleh Raja Kṛṣṇa bersama Sang Pāṇḍawa, tujuh hari lagi beliau akan datang kemari, berkeinginan untuk mengadakan perang. Bersiapsiagalah tuanku Raja mengerahkan pasukan bersenjata. Demikianlah pesan baginda Raja berdua, yang memerintahkan Negara Hastina”.
Nanārmaṃ śravanaḥ jano, Priya vāditya mityatuḥ, kirataḥ makyanaṃ dṛṣṭaṃ, prahitaśca janārdanaḥ.
Tertawalah Raja Candrabherawa, lalu berkata lemah lembut; “Wahai engkau Patih Kiratha, Ah Ah, begitukah pesannya baginda Raja berdua, yang memerintah Negeri Bharatawangṣa, salah-salah aku berdebat denganmu, lebih baik engkau kembali pulang saja, laporkan bahwa kami tidak mau tunduk pada musuh yang sakti, akan tunduk pada rajamu-mu berdua, aku ingin mengetahui kehebatan Raja Kṛṣṇa. Sebab Raja Kṛṣṇa pula yang membuat kemarahan kepadaku, sayang sekali, memang perwujudan Wiṣṇu, menjalankan kemarahan ceritanya Sang Hyang Wiṣṇu dari sejak dulu, karena tunduk oleh Sang Hyang Gaṇa, ketika berada di pulau Jawa. Demikianlah engkau utusan, sampaikanlah pesanku kepada tuanmu Raja Kṛṣṇa”. Demikianlah kata Raja Candrabherawa.