Dhyāyani sarva bhavéṣu.
“Adapun sekarang, wahai Raja Candrabherawa, keluarkanlah ajianmu, aku akan menebaknya”.
Bhéravyā vacatat sakyā.
Kata Raja Candrabherawa: “Oh raja Kṛṣṇa, apalagi engkau Sang Bhīma dan Sang Arjuna, agar engkau bertiga, agar menyaksikan wajahku sekarang, dari depan dari belakang, dari samping, kalau ada cacat celanya badanku, katakanlah padaku, ialah ajian Brāhmaṇa Arddhanaréśwarī namanya, belalaklah matamu dengan baik”.
Segera memusatkan batin beliau Raja Candrabherawa, dalam sekejap seperti Maṇik Sphanṭika wujudnya, sebesar lengan. Setelah selesai ditatap dalam sekejap berubah menjadi Maṇik Sutawat, sekepal besarnya, bagaikan manikan bersinar kesegala penjuru. Setelah selesai ditatap, dalam sekejap berwujud Maṇīdra, seruas jari besarnya, bening berkilauan. Setelah selesai ditatap merica besarnya, bercahaya seperti cahaya sinar bulan. Setelah selesai ditatap, dalam sekejap berubah sebesar biji jawa terbagi tujuh kecilnya. Hilang tanpa bekas beliau. Termangulah maharaja Kṛṣṇa.
Anūmaṃ sanyācét sarvaṃ,
Vidyāśca Candrabhéravaḥ, Nasyanti suravāt dyānī, Vikramaḥ nirgamaḥ najét.
Tiada tertebak oleh beliau. Kata Raja Kṛṣṇa: “Baiklah wahai Raja Candrabherawa, selesaikanlah semadimu, kalahlah aku olehmu, tak terpikirkan olehku tentang kerahasiaan ajianmu. Sekarang aku akan melapor kepada Raja Yudhīṣṭira”. Demikianlah kata Raja Kṛṣṇa.
Mojaḥ dévāntara vaca.
Menjawab Raja Candrabherawa: “Begini saja wahai engku Raja Kṛṣṇa, kalah kalah aku mengadu pengetahuan kepada Raja Yudhīṣṭira, ada janjiku kepada beliau, engkaulah sebagai saksinya, sebab engkau adalah perwujudan Sang Hyang Wiṣṇu, sebagai sarana bagi para dewa, dalam memelihara dunia. Ada putriku yang cantik jelita, Diah Ratna Śaśangka namanya, sebagai taruhanku kepada Raja Yudhīṣṭira. Ia adalah permatanya Negara Déwāntara, agar engkau tahu, putriku Diah Ratna Śaśangka, ia beribu istriku, Déwī Bhanuraśmi namanya, masih keluarga sepupu denganku, putri seorang Raja dari Śangkadwipa dahulu, keturunan Raja Catur Daśa Manu dahulu. Pendek kata, engkaulah ku pesankan, sampaikanlah kepada Raja Yudhīṣṭira, bahwa aku hendak pulang ke alam Abhirati”. Demikian kata Raja Candrabherawa.
Dituruti oleh maharaja Kṛṣṇa, lalu berangkat melaporkan kepada Raja Yudhīṣṭira, segala pesan Raja Candrabherawa. Tiada diceritaka datanglah Raja Yudhīṣṭira, di tempat Raja Candrabherawa, katanya: “Ya Maharaja Yudhīṣṭira, tahulah hamba dengan tujuanmu, akan menyerang kami, karena engkau adalah perwujuda Bhaṭāra Dharma, sebagai bapak ibunya seluruh dunia, yang tekun menjalankan ajaran Tri Kāya Pariśuddha. Sia-sialah Karma Sanyaṣa, apabila tidak dipadukan dengan Yoga Sanyaṣa. Adapun sekarang, apa tujuanmu padaku, katakanlah dengan sejujurnya”.
Dharmasuté samakyataṃ, Tvaṃ dévāntara vidhitaḥ, Dharma sakyaṃ tésu hṛddhah, amṛtaśca kyataṃ bhavaḥ.
Kata Raja Yudhīṣṭira: “Wahai engkau Raja Candrabherawa, sebagai tujuanku datang kemari, memohon kehebatan ajianmu, apakah benar-benar setiamu kepada negara, aku mengharapkan kematianmu. Belas kasih datang darimu, jika aku bisa menghidupkanmu, karena kau tidak bisa mati oleh segala senjata, sebagai penghalang seperti katamu, berjanjilah kepadaku”. Demikianlah kata Raja Yudhīṣṭira.
Dijawab oleh Raja Candrabherawa: “Aduh OṀ OṀ Déwanya negara Hastina, betapa mulianya kata-katamu kepadaku, janganlah engkau khawatir, aku menaruh belas kasihan kepadamu. Agar engkau benar-benar tahu akan kehebatanku, lebih baik engkau mati terlebih dahulu, aku akan menghidupkanmu. Pergunakanlah intisari ajaran Śiwatattwa-Mu, dan keutamaan kependetaanmu, sebatas kemampuanmu, hakekat rahasia benalu kehidupan, baiklah pengetahuanmu segera dilaksanakan.
Dharma santani yoginaḥ.
Terdiam Raja Yudhīṣṭira, lalu memasang ajaran Sang Hyang Aṣṭalingga, lengkap dengan Mudra ( sikap tangan ) dan aksaranya semua. Ditujukan batin beliu, pada intisarinya Panca Wiṇḍu, pada puncaknya Aṣṭalingga. Dipisahkan antara api dan angin, dan disatukan antara Ātma dengan Dewa, begitu pula pemisahannya Panca Tan Mātra dan Panca Mahābhūta. Itulah parihartapana namanya, semua dikembalikannya keasalnya dulu, memenuhi ujung Sang Hyang Bāśu ( nafas ), śabda ( suara), Idhěp ( pikiran ), disucikan oleh Sang Hyang Mṛtyūnjaya, menjadi Sang Hyang Kalamṛtyu. Melesatnya Sang Hyang Ātma menuju Sang Hyang Aṣṭalingga, menempatkan diri di Antaśūnya. Matilah Raja Yudhīṣṭira, bagaikan tidur badannya beliau terlihat.
Bhéravyāṃ dhyāyaṃ tṛtavaṃ, Utpti syamirévaca, Upādhyayé triguṇaśca, Satadalécca mūrthibhiḥ.
Diamlah Raja Candrabherawa, lalu menyusup ke dalam Aṣṭalingga, ditariklah Sang Hyang Tri Rahaṣyajnana, sehingga Ātma dapat diikat dengan kuat, dikembalikan pada tempatnya tadi. Siumanlah Maharaja Yudhīṣṭira, duduklah beliau, berhadap-hadapan beliau berdua.
Kata Raja Candrabherawa: “Daulat Raja Yudhīṣṭira, sangat sulit olehmu melaksanakan, tentang kehebatan ajaran Śiwa Tattwa, aku tahu hal itu, kami dapat mencarinya”.